materi agama islam

Memahami Esensi Syariat Qurban

SRAGEN-Dalam kamus teologis, qurban adalah harta abadi. Artinya ia akan menjadi tabungan di akhirat kelak

TUJUAN utama qurban adalah sesuai namanya, untuk bertaqarrub kepada Allah. Taqarrub adalah bentuk pendekatan kepada Allah dengan menggunakan media hewan qurban. Hari Raya Idul Adha adalah nama lain dari Hari Raya Qurban, hari di mana umat Islam berbagi kebahagiaan dengan daging qurban.

Dalam hierarki golongan orang-orang bertakwa (muttaqin) golongan muqarrabin atau yang dekat dengan Allah adalah yang paling tinggi. Mulai dari para golongan manusia saleh (shalihin), orang-orang syahid (syuhada), yang baik-baik (abror), dan muqarrabin. Maka muncul sebuah ungkapan, hasanatul-abror sayyeatul-muqarrabin. Yang dipandang baik bagi golongan ‘abror’ adalah masih dipandang buruk bagi golongan muqarrabin.

Berqurban adalah sarana menjadi muqarrabin. Dalam contoh nyata, Nabi Ibrahim yang diperintahkan Allah untuk menyembelih anaknya pun tetap patuh (lebih lengkapnya, lihat Surah As-Shaffat ayat 101-111). Maka Ibrahim dan anaknya, Nabi Ismail, menjadi golongan muqarrabin. Karena kepatuhan dan ketundukan Ibrahim dan putranya sehingga menjadi teladan bagi kita semua, umat Nabi Muhammad. Tentu saja, syariat dimaksud adalah menegakkan esensi qurban dengan menyembelih jenis hewan yang telah ditetapkan dalam syariat.

Penyembelihan hewan qurban adalah simbol untuk menyembelih kerakusan, ketamakan, amarah, kebodohan, keangkuhan dan segala sifat tercela yang menempel pada jiwa-jiwa kita. Karena itu, Allah juga tidak akan butuh terhadap daging qurban pengorbanan kita, hewan-hewan yang disembelih tetap milik tuannya, minimal sepertiga. Diwajibkan berbagi sebagai wujud hilangnya rasa rakus dan tumbuhnya empati kepada sesama.

Daging-daging qurban dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.(QS. Al-Hajj:37).

Lalu apalah artinya hanya seekor hewan qurban bagi yang diberi kecukupan rezeki dibandingkan dengan nyawa seorang Nabi Ismail yang sangat disayangi oleh orang tuanya (Nabi Ibrahim dan Siti Hajar)

Kenyataan kadang menunjukkan, karena kecintaan yang berlebihan terhadap harta, sebagian orang begitu berat hati untuk berqurban walaupun sekadar patungan tujuh kepala rumah tangga untuk seekor sapi, dan atau satu ekor kambing untuk satu kepala rumah tangga. Itu terjadi karena hitung-hitungan uang dan uang. Sebab sebagian orang sudah menjadikan uang sebagai dewa, dan hanya ingin mengeluarkan uangnya jika terlihat langsung secara kasat manfaatnya.

Padahal, di kota-kota besar seperti Jakarta misalnya, ada orang hanya duduk ngopi-ngopi sama kolega harus merogok kocek hingga dua juta rupiah, seharga satu ekor kambing atau sapi jika patungan. Lalu, kenapa begitu berat melepas uang demi qurban? Karena mereka tidak paham esensi qurban yang berdimensi pribadi dan spritual sosial.

Dalam kamus teologis, qurban adalah harta abadi. Artinya ia akan menjadi tabungan di akhirat kelak, dan lebih istimewa dapat menjadi kendaraan untuk melewati api neraka yang membara di bawah shirat. Dalam tinjauan sosial, berbagi daging qurban kepada sesama adalah perbuatan terpuji. Dengan berbagi nikmat, harta akan berberkah, tumbuh, lalu berkembang.

Dari sini muncul filosofi perintah qurban, “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikan salat karena Tuhanmu, dan berqurbanlah. Sesungguhnya oraang-orang yang membenci kamu adalah yang terputus, (QS. Al-Kautsar: 1-3).

Maka para elite dan warga negara ini jika mengaku beriman dan bertakwa, harus mengambil makna esensi dari qurban. Belajar dari Nabi Ibrahim, Siti Hajar, dan Nabi Ismail. Keluarga ini dapat menjadi model prilaku penuh keikhlasan dan tunduk patuh pada perintah Allah.

Bahwa adanya segelintir manusia atau golongan yang menguasai mayoritas kekayaan negara serta menyebabkan kesenjangan sosial merupakan bukti lemahnya jiwa pengorbanan di negeri ini.

Rontoknya jiwa kenegarawan yang ditandai kian menguatnya kebiasaan mengutamakan kepentingan diri dan kroni di atas kepentingan publik boleh jadi penyebab utamanya adalah tidak adanya kesediaan berqurban sebagai kanopi suci yang diajarkan para nabi.

Dalam suasana hari raya Idul Qur’ban ini, maka memaknai esensi qurban sebagai wadah meraih kedekatan kepada Allah sekaligus untuk mendekatkan diri pada sesama. Bagi siapa pun, utamanya para politisi yang akan bertarung tahun depan (Pilkada 2018), akan lebih baik jika mendekatkan diri kepada Allah dan rakyat sekaligus melalui media qurban.

Dan bagi yang belum mampu menunaikan syariat qurban, setidaknya harus punya azam dan niat yang kuat agar pada tahun mendatang juga mampu berqurban. Sebab niat yang baik namun belum terlaksana sudah dicatat satu kebaikan. Namun jika benar-bemar terwujud akan dicatat sepuluh kali lipat. Itulah keutamaan umat Nabi Muhammad yang seharusnya jadi amalan utama.(glg)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *